Sekeping Kisah Dari Buku Harianku (bagian1)
Bismillahirrohmanirrohiim, Allahumma Sholli ‘ala Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi ajma’in.
Sebenarnya aku sudah tidak mau mengungkapkan ini, sudah 10 tahun lebih aku menyimpannya sendiri, kunikmati sendiri dalam sunyiku. Namun malam ini ada satu desakan meronta dalam sanubariku, menerobos sekat sunyiku, merangsek menyeruak, menggedor akal pikiranku.
“Aku berusaha merelakan, biarlah fitnah-fitnah itu menjadikanku tersangka dihadapan kaumku, biarlah image buruk melekat sampai aku mati. Tapi aku kwatir, hal serupa, fitnah serupa akan menelan korban lagi. Aku akan semakin merasa bersalah jika itu terjadi karena aku terlalu serakah menelan rahasia ini sendiri.”
Semoga tulisan ini akan menjadi pelajaran berharga bagi anak-cucuku kelak dan generasi setelahku, aku tidak begitu berharap kepada generasi seusiku apalagi diatasku.
PULANG MONDOK
Aku lulus dari sebuah pesantren didaerah Pati tepat tanggal 15 Desember 1997. Sepulang dari pesantren kehidupan kujalani dengan penuh semangat, bekal ilmu dari guruku tak akan aku sia-siakan.
Aku melihat lingkungan sekelilingku, terutama anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar dan smp. Tak ada kemajuan berarti dibidang pendidikan agama, masih sama seperti masa kecilku dulu. Malam selepas sholat magrib, ngaji ditempat guru ngaji, bagi pemula akan disuguhi kitab Alif-alifan,yakni sebuah metode cara belajar membaca Al-Qur’an, yang dikemudian hari aku tahu namanya metode baghdadi, kelas lanjutannya, dituntun membaca Juz “Amma kalimat demi kalimat, meskipun belum bisa mengeja dengan benar. Kelas paling tinggi adalah ngaji lafadh makna, jamanku dulu yang sudah sampai tataran ini usianya 20-an ke atas.
Yang membuat aku prihatin dan membuat aku tergerak, sampai saat itu belum ada pelajaran sholat plus wudhu yang meliputi,teori, praktek, baik yang sunnah maupun yang wajib. Sehingga jamanku dulu saat di sekolah SD diadakan tes sholat subuh, anak-anak rifaiyah tidak ada yang bisa membaca do’a qunut, yang lebih lucu kami menganggap do’a qunit itu tidak ada.
Aku merasa kasihan pada anak-anak sekolah, kasihan mereka jika harus menerima ejekan dari kawan-kawannya dari NU,juga harus menelan ludah ketika diinterogasi guru agama. Mereka tidak salah karena mereka memang tidak pernah diajari.
Berangkat dari sini, aku mencari solusi, agar adik-adikku tidak bernasib seperti diriku, entah apakah niat ini benar atau tidak, saat itu hanya itu niat dan tujuanku.
KRISMON
Krisis 98 memaksa orang-orang kampungku yang mayoritas meraantau di jakarta pulang kampung. Tambah lagi yang harus aku pikirkan, saudara-saudaraku yang pulang kampung ini 90% didominasi anak-anak seusiku kebawah. Mereka pernah merasakan pahitnya diejek gara-gara tidak bisa qunut dan baca kesunahan-kesunahan didalam wudhu dan sholat.
“kayaknya pas ini, mumpung mereka dikampung, sekalian saja mereka aku ajak belajar sholat, dan menghadap kyai untuk menyaksikan bacaan sholatnya.” Demikian yang terlintas dalam benakku. Alhamdulillah mayoritas sangat setuju.
Lebaran tahun 98 dilewati dengan riang, seusai lebaran ada musyawarah Ikatan Remaja Masjid At-Taqwa (IRMASA), yang saat itu diketua oleh orang yang sudah tidak remaja lagi, dia sudah 10 tahun menjabat, dan merasa sudah tidak layak lagi.
Berkumpullah kami semua diserambi Masjid, pemilihan ketua berjalan tanpa halangan. Tibalah kran usulan, ide dibuka oleh pak moderator. Saya dengan husnudhon kepada pak Kyai, membuka usulan dengan semangat. Sudah bisa diduga saya mengusulkan “Bagaimana kalau IRMASA mengadakan pelatihan bab Sholat plus bacaannya", dalam hal ini pak Kyai yang menjadi pentashih bacaan kami. Usulan kedua, setiap hari jum’at selepas subuh sampai bedug jum’at diadakan tadarusan Al-Qur’an dengan bimbingan para ustadz, khusus ustadznya dikasih jadwal.
Tak pernah terlintas dalam pikiranku yang saat itu baru berumur 21 tahun, pak Kyai menjawab dengan nada kurang mengenakkan “Kalau mau belajar ya datang sendiri, Tidak ada ceritanya sumur mencari timba”. Karena aku masih berjiwa santri yang terbiasa kritis, sudah ada dalam alam pikiranku sanggahannya.
“aku setuju pak Kyai, tapi pertanyaanku begini, bagaimana mereka akan mau mencari ilmu dengan suka rela, datang sendiri, mencari guru sendiri, sedang mereka malu atau malah ada yang menganggap itu tidak penting, sudah menjadi tugas orang ‘alim jika ummatnya malas ngaji, beliau-belliau ini wajib berusaha mencari cara agar ummat ini sadar.” Untung kalimat-kalimat ini tidak keluar, hanya berhenti dikerongkonganku, karena aku sudah dicegah oleh senior-seniorku yang sudah lebih dulu paham pola pikir kaumku.
Akhirnya aku mengalah, kuturunkan level suaraku, kuperbaiki kalimatku, kuperhalus bahasaku,agar pak Kyai berkenan, tapi sia-sia, beliau kekeh tidak mau.
Usulan pertamaku mental, alhamdulillah usulan kedua diterima, tadarusan itu masih berlangsung hingga kini, meskipun tidak sampai waktu dhuhur.
Ide untuk membantu saudara-saudara dan adik-adik gagal, tidak lantas membuatku berhenti. Jujur dulu aku terheran-heran dengan pak Kyai, tapi sekarang aku memaklumi atas penolakannya. Itulah cara Alloh mengajariku agar teguh memegang prinsip, tegar berusaha mencapai cita-cita, meskipun penghalang selalu menghadang.
Desakan agar aku dan teman-teman saja yang membikin majlis untuk ide pertama yang gagal. Aku jadi berfikir “Ini kalau aku iyakan, wah bisa geger dunia persilatan”. Tapi kalau yang aku ajari sholat anak-anak yang sudah dicap anak bandel yang tiap ba’da magrib kerjaannya nonton TV di rumah orang, kayaknya tidak menyerobot massa atau ,urid orang. Padahal dalam hatiku aku tidak pernah dalam rangka pingin jadi ustadz apalagi kyai.dari segi apapun aku bukan orang yang layak.
Keinginan ingin membantu adik-adikku saja yang dari awal membuatku tak berhenti mencari cara.
Tiap hari aku jadi mata-mata, pagi, siang, sore sampai malam hari, adik-adik yang sudah dicap Anak mbeler (nakal) ini aku ikuti. Kebetulan saat itu aku hoby membaca komik Kho Ping Ho, nah….. saat aku ke toko persewaan buku, terlintas ide.
Aku menyewa komik dragon ball satu kardus, sore-sore aku jalan-jalan keliling kampung, ke sungai, kesawah, mencari adik-adik, mereka aku pinjami komik dragon ball hanya seri 1, gratis. Otomatis begitu seri 1 selesai mereka akan pinjam lagi seri kedua, aku turuti saja sampai seri 3, untuk seri ke 4 aku mulai minta “bayaran”.
Bayarannya harus hafal syahadat beserta maknanya minimal sampai rukun iman. Untuk seri selanjutnya, sholat bacaan dan gerakannya harus benar. Praktis mereka dengan suka rela meminta aku untuk mengajarinya.
Setelah fokus ke ngaji mereka sudah melupakan komik dragon ball, hampir 99% yang datang adalah anak-anak yang sudah dibiarkan oleh orang tuanya, para ortunya sudah capek, mereka pindah-pindah pengajian, seluruh kampung sudah menonaknya. Karena disamping malas, mereka suka berantem, dipengajian hanya bikin onar. Wajarlah para guru ngajinya sudah angkat tangan.
PELAJARAN YANG AKU AMBIL:
Niat tulus tidak lantas membuat orang lain setuju pendapatmu
Orang jujur sering melakukan hal-hal sederhana dengan niat tulus, tapi dianggap luar biasa yang mengancam oleh orang hasud.
Hidup ditengah-tengah masyarakat, tidak cukup modal niat ikhlas, cara yang baik dan benar, juga harus tahu kapan saatnya bicara dan tahu kapan saatnya diam
BAGAIMANA tanggapan para kyai dan orang kampung? semoga dibagian 2 Alloh masih memberiku umur panjang, sehat jasmani ruhani, akan aku tulis ulang dari bukua harianku.
In Sha Alloh Bersambung ………
*Diambil dari Buku Harianku 98