Download Ebook Cersil "Kidung Senja Di Mataram" Format PDF
Cerita Silat Jawa
Karya Kho Ping Hoo
Karya Kho Ping Hoo
Saat gundah menerpa, ketika sepi menerkam, kala merasa tak ada lagi yang menarik untuk diajak bicara atau bertegur sapa, membaca buku bisa menjadi salah satu pelipur lara, pengusir sepi.
Masing-masing orang pasti punya buku favorit, jaman aku remaja dulu sangat menyukai cerita silat karya-karya Asmaran S Kho Ping Hoo, beda lagi dengn temanku dia lebih menggemari cerita-cerita roman karya Mira W misalnya.
Berikut ini salah satu cuplikan cersil yang pernah aku baca, kalau suka silahkan diunduh, dulu kita harus merogoh kocek untuk menyewa, jaman aku dulu sudah menghabiskan stok buku di Weleri, Kendal dan Pati, kalau sekarang tinggal download, baca, enak bukan? hehhehehehe..... ;)
Sang Bagaskara mengundurkan diri ke balik puncak bukit sebelah barat, mengakhiri tugasnya sehari penuh di bagian bumi sebelah sini dan mulai menunaikan tugasnya di bagian bumi sebalah sana. Surutnya sang raja siang masih meninggalkan bekas kebesarannya. Langit di barat dibakarnya, menjadi hamparan merah dihias awan putih di sana-sini, di seling warna biru di antara sinar redup keemasan. Senja di Pegunungan Lawu amatlah indahnya, indah dan agung, bukti kekuasaan, kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.
Tiga ekor kerbau melangkah santai melintas padang rumput, ayem dan senang karena perut mereka kenyang, menuju pulang kandang. Perasaan mereka seolah hanyut oleh lengking suling yang ditiup anak laki-laki yang duduk di punggung kerbau terbesar yang berjalan di depan. Lengking yang lembut dengan lagu Dandanggula yang sederhana, namun suara itu menjadi suci karena menyatu dengan keadaan, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari alam di senja itu. Lengking suling dalam lagu Dandanggulo tanpa kata itu, membangkitkan perasaan trenyuh dan nglangut dalam hati para pendengarnya. Hati mengikuti irama tembang dan bersenandunglah mereka itu dalam tembang masing-masing, mengikuti irama suling, lagunya Dandanggula.
Suara suling terbawa angin, sayup-sayup terdengar oleh seorang dara yang sedang sibuk di dapur sebuah rumah terpencil di luar dusun Sintren. Mendengar lengking suling itu, ia tersenyum dan sambil mencuci beras yang hendak di tanaknya, ia pun bersenandung dalam tembang Dandanggula, mengikuti irama suling.
Sang Bagaskara mengundurkan diri ke balik puncak bukit sebelah barat, mengakhiri tugasnya sehari penuh di bagian bumi sebelah sini dan mulai menunaikan tugasnya di bagian bumi sebalah sana. Surutnya sang raja siang masih meninggalkan bekas kebesarannya. Langit di barat dibakarnya, menjadi hamparan merah dihias awan putih di sana-sini, di seling warna biru di antara sinar redup keemasan. Senja di Pegunungan Lawu amatlah indahnya, indah dan agung, bukti kekuasaan, kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.
Tiga ekor kerbau melangkah santai melintas padang rumput, ayem dan senang karena perut mereka kenyang, menuju pulang kandang. Perasaan mereka seolah hanyut oleh lengking suling yang ditiup anak laki-laki yang duduk di punggung kerbau terbesar yang berjalan di depan. Lengking yang lembut dengan lagu Dandanggula yang sederhana, namun suara itu menjadi suci karena menyatu dengan keadaan, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari alam di senja itu. Lengking suling dalam lagu Dandanggulo tanpa kata itu, membangkitkan perasaan trenyuh dan nglangut dalam hati para pendengarnya. Hati mengikuti irama tembang dan bersenandunglah mereka itu dalam tembang masing-masing, mengikuti irama suling, lagunya Dandanggula.
Suara suling terbawa angin, sayup-sayup terdengar oleh seorang dara yang sedang sibuk di dapur sebuah rumah terpencil di luar dusun Sintren. Mendengar lengking suling itu, ia tersenyum dan sambil mencuci beras yang hendak di tanaknya, ia pun bersenandung dalam tembang Dandanggula, mengikuti irama suling.
“Sipat iman, mantu bilahi,
tegesipun pracaya mring Allah,
Mring Pangeran sejatine ya pangeran kang agung
kang akarnya bumi dan langit
angganjar lawan niksa mring manungsa sagung
langgeng tur murba misesa
Maha Suci angganjar paring rejeki,
aniksa angapura.”
”Weladalah! Sekarang sudah lewat maghrib, kok ngliwet sambil rengeng-rengeng. Apa engkau sudah sholat, cahayu?”
Dara yang menanak nasi, menembang dan melamun itu tadi terkejut ketika tiba-tiba ditegur ayahnya. Ia menoleh sambil tetap berjongkok menghadapi api kayu bakar yang berasap, memandang pria setengah tua itu dan berkata, lembut akan tetapi kenes.
”Aduh, bapa membikin kaget saja. Aku sudah sembahyang tadi, bapa.” Ia melanjutkan pekerjaannya.
1 komentar:
tes 123
REPLY